Minggu, 06 Mei 2012

PENEMUAN HUKUM DITINJAU DARI BEBERAPA PENDAPAT ALIRAN-ALIRAN DALAM ILMU HUKUM


l  Pada zaman dahulu, sebelum tahun 1800 dimana pada umumnya masyarakat hidup dengan bermacam-macam hukum kebiasaan yang berbeda menurut tempat dan waktu.
l  Akan tetapi dengan banyaknya hukum kebiasaan itu sehingga semakin kabur dan samar-samar, karena memperlihatkan perbedaan yang terlampau besar.
l  Sehingga orang mulai tidak merasa puas dengan hukum-hukum kebiasaan (hukum tidak tertulis), maka mulailah ahli-ahli hukum Romawi menghendaki bahwa peraturan-peraturan (hukum) kebiasaan itu dituliskan.
l  Memang sumber hukum tertua adalah kebiasaan atau tradisi hal ini tidak berpedoman pada aturan-aturan yang diundangkan atau yang dicatat melainkan pada aturan-aturan yang diwariskan secara diam-diam.
l  Akibat dari tidak ada suatu pedoman yang berlaku secara umum, sering menimbulkan kesewenang-wenangan penguasa/hakim dalam melaksanakan kekuasaannya.
l  Setelah melihat kenyataan tersebut di atas, maka timbullah usaha ke arah kodifikasi yaitu pada zaman Romawi terlihat pada masa Kaisar Justinianus, yang menghasilkan “Corpus Iuris Civilis”.
l  Akibat munculnya hal tersebut mengakibatkan timbulnya beberapa pandangan tentang hubungan undang-undang, hukum, dan hakim.
l  Ini timbul karena ada yang beranggapan bahwa apabila hakim/penguasa menyelesaikan suatu perkara harus bersumber pada undang-undang, sebaliknya harus bersumber pada hukum yang hidup dalam masyarakat.
l  Lebih jelasnya akan ditelaah menurut beberapa pandangan atau aliran dalam ilmu hukum.

PENEMUAN HUKUM DILIHAT DARI
ALIRAN-ALIRAN DALAM ILMU HUKUM
  1. Aliran Legisme
  2. Aliran Historis (sejarah)
  3. Aliran Begriffsjurisprudenz
  4. Aliran Interessenjurisprudenz
  5. Aliran Freirechtbewegung
  6. Aliran Sosiologische Rechtsschule
  7. Aliran Open System van het Recht (Sistem Hukum Terbuka)

1.       Aliran Legisme

l  Paham ini beranggapan bahwa undang-undang itu merupakan yang supreme dinamakan “Legisten dan Canonisten”, dan alirannya disebut aliran Legisme.
l  Pandangan ini cocok dengan ajaran hukum kodrat yang rasionalistis dari abad ke-17 dan abad ke-18. Dan mendapat dukungan lebih kuat dari teori-teori : Montesquieu dan J.J. Rousseau.
l  Kodifikasi sebagai landasan dari aliran legisme, bertujuan untuk kesederhanaan hukum dimana hukum mudah di dapat, kesatuan hukum (unifikasi hukum), dan kepastian hukum.
l  Setelah adanya kodifikasi yang mengakibatkan lahirnya aliran logisme yang beranggapan bahwa tidak ada sumber hukum lain kecuali undang-undang.
l  Hakim hanya merupakan terompet undang-undang yang tidak berjiwa dan tidak dapat mengubah atau menambah undang-undang.
l  Sesuai dengan teori-teori Montesquieu atau J.J.  Rousseau, aliran legisme berpendapat, bahwa kedudukan Pengadilan adalah pasif saja, ia hanya terompet undang-undang, ia hanya bertugas memasukkan sesuatu hal yang konkrit dalam undang-undang dengan jalur tutur simpul (silogisme) hukum, secara dedukasi yang logis.
l  Bahwa hakim mengambil sikap menahan diri. Ia tidak boleh melanggar kebebasan para warga negara, untuk mengatur hubungan hukum mereka.
l  Hakim hanya bertindak apabila para warga negara sudah melampaui batas menurut undang-undang.
l  Hakim harus memberi keputusan menurut undang-undang, ia sama sekali tidak boleh menilai-nilai batiniah atau kepatutan dari undang-undang.
l  Penafsiran undang-undang tidak akan diperlukan, orang hanya perlu mengikuti saja teks harfiah.

2.       Aliran Historis (sejarah)

l  Pelopor dari aliran ini yang terkenal adalah F.C. Von Savigni (1779-1861), yang mencari sumber asal dari hukum positif di dalam kesadaran hukum bersama dari masyarakat.
l  Aliran sejarah lahir sebagai reaksi terhadap ajaran hukum alam atau kodrat dari abad ke-17 dan abad ke-18, yang mencoba membangun hukum yang berlaku menyeluruh dan abadi (universal dan abadi) hanya dengan mempergunakan akal pikiran (ratsio) manusia tanpa mau melihat kenyataan hidup yang berubah-ubah.
l  Aliran ini juga menentang aliran legisme.
l  Pada tahun 1814 F.C. Von Savigny menimbulkan goncangan dengan menulis suatu brosur terhadap usaha kodifikasi yang timbul pada waktu itu di Jerman. Untuk suatu kodifikasi dia menganggap Jerman masih belum matang.
l  Hukum itu tidak dibuat, tetapi berada dan tumbuh dengan bangsa itu.
l  Hukum itu adalah “kehidupan suatu bangsa dilihat dari suatu sudat khusus”, suatu aspek dari “Kehidupan bangsa yang sehat”.
l  Kemudian dijelaskan oleh Von Savigny, bahwa kesadaran hukum tidak dapat disamakan dengan keyakinan mayoritas dari para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Parlemen).
l  Hukum yang tumbuh dari semangat atau keyakinan rakyat berkembang secara pasti dan tetap seperti kehidupan rakyat sendiri.
l  Jadi singkatnya, bahwa hukum tidak dibuat tetapi tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan rakyat.
l  Pandangan bersumber pada jiwa bangsa (Volkegeyst), kesadaran hukum masyarakat hukumnya bersumber hanya menekankan kepada kebiasaan, dan bentuk hukumnya berupa hukum kebiasaan.
l  Jadi hukum itu berkembang dari hubungan hukum yang sederhana kedalam masyarakat modern.

3.       Aliran Begriffsjurisprudenz

l  Dengan tidak meninggalkan prinsip-prinsip pandangan aliran Legisme, maka aliran Begriffsjurisprudenz telah memperbaiki kelemahan yang ada.
l  Menurut pendapat aliran ini, bertitik tolak dari beberapa aksioma (rechtgrundsatse, asas dasar hukum yang telah diakui secara umum) melalui dedukasi logis, orang dapat turun ke soal pertentangan, yang memisahkan para pihak.
l  Dengan demikian terjadilah suatu sistem hukum yang cocok, digantungkan pada pengertian dasar.
l  Yang paling idial adalah, apabila sistem yang ada itu akan dapat dibangun dalam semacam piramida, dengan suatu asas pokok di puncaknya.
l  Dari situ akan dapat dibuat lagi pengertian yang baru sebab pengertian itu banyak menghasilan “mereka berpasang-pasangan dan melahirkan yang baru”  Itu sebabnya teori ini (dengan satu nama ejekan) disebut Begriffjurisprudenz.
l  Ciri khas dari aliran ini adalah terutama, bahwa di dalam hukum itu dilihat sebagai suatu sistem yang terpadu, mencakup segala-galanya yang menguasai segala tindakan sosial.
l  Pendekatan ilmiah mengenai hukum itu, dengan aparat-aparatnya yang diperhalusnya itu, bukan hanya merupakan stimulasi yang kuat bagi timbulnya positivisme hukum, tetapi memberikan juga kepada hakim suatu kumpulan argumen yang ditarik dari ilmu pengetahuan, jadi yang dianggap obyektif bagi keputusannya.
l  Begriffsjurisprudenz memberi kepada hakim lebih banyak ruang lingkupnya dari legisme.
l  Ia tidak usah mengingatkan diri pada teks undang-undang, tetapi boleh juga mengemukakan argumennya dari peraturan hukum yang “tidak kelihatan”, yang tersembunyi dalam kitab undang-undang.
l  Aliran ini juga mengajarkan bahwa sekalipun undang-undang itu tidak lengkap, akan tetapi dia dapat memenuhi kekurangan-kekurangannya sendiri, oleh karena dia mempunyai daya meluas.
l  Cara memperluas hukum itu hendaknya dipandang dari dogmatik sebab hukum itu adalah suatu kesatuan yang tertutup, sebagaimana dikatakan oleh Brinz.
l  Brinz mengatakan untuk mengisi kekosongan hukum tersebut dengan jalan membuat konstruksi-konstuksi hukum, yaitu dengan cara (metode) :
                1.            abstractie (analogi);
                2.            determinatie (penghalusan hukum);
                3.            argumentum a contrario.

4.       Aliran Interessenjurisprudenz

l  Penganut aliran ini tidak sependapat dengan aliran Legisme dan aliran Begriffsjurisprudenz, mereka menyatakan bahwa undang-undang tidak lengkap, ia bukan satu-satunya sumber hukum, sedang hakim dan pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya dalam menentukan hukum.
l  Demi untuk mencapai hukum yang seadil-adilnya, menurut aliran ini hakim malahan boleh menyimpang dari peraturan-peraturan undang-undang.
l  Kemudian terhadap abstraksi yang kosong dari aliran Historis dan Begriffsjurisprudenz, Rudolf Von Jhering menyatakan, bahwa hukum itu mempunyai arti masyarakat tertentu.
l  Penganut aliran ini tidak sependapat dengan aliran Legisme dan aliran Begriffsjurisprudenz, mereka menyatakan bahwa undang-undang tidak lengkap, ia bukan satu-satunya sumber hukum, sedang hakim dan pejabat lainnya mempunyai kebebasan yang seluas-luasnya dalam menentukan hukum.
l  Demi untuk mencapai hukum yang seadil-adilnya, menurut aliran ini hakim malahan boleh menyimpang dari peraturan-peraturan undang-undang.
l  Kemudian terhadap abstraksi yang kosong dari aliran Historis dan Begriffsjurisprudenz, Rudolf Von Jhering menyatakan, bahwa hukum itu mempunyai arti masyarakat tertentu.
l  Jadi peraturan hukum itu oleh hakim haruslah dilihat tidak secara logis formal, melainkan seyogyanya dinilai menurut tujuannya.
l  Pada dasarnya tujuan itu adalah, bahwa peraturan itu bermaksud melindungi kepentingan tertentu.
l  Pembuat undang-undang ketika ia mengeluarkan suatu peraturan, telah mempertimbangkan berbagai kepentingan dan membandingkannya satu sama lain dan kemudian mengadakan pilihan.
l  Dalam ketentuan undang-undang itu telah ditetapkan manakah yang bernilai penuh dalam mata pembuat undang-undang.
l  Bila hakim diminta akan memberikan putusan (suatu keputusan nilai dalam suatu pertentangan kepentingan), maka hakim tersebut harus mencari hubungan dengan kepentingan yang tercantum dalam undang-undang.
l  Ia tidak boleh atas wewenang sendiri menilai kepentingan konkrit dari pihak-pihak yang bersangkutan, tetapi ia harus mengambil dari dalamnya unsur, yang telah dinilai oleh pembuat undang-undang dan berdasarkan itu memberikan suatu keputusan.
l  Namun hakim adalah juga pencipta hukum yang baru.
l  Sebab apabila pembuat undang-undang pada pertimbangannya belum dapat memperhatikan kepentingan tertentu, maka hakim masih dapat menimbang kepentingan itu.
l  Ia harus bertanya kepada diri sendiri, apa yang dibuat oleh pembuat undang-undang, apabila kepentingan itu pada waktu itu dapat menambah berat dalam pertimbangannya, akan diubahnya pada suatu peraturan atau ditambahkannya.
l  Disini hakim menciptakan hukum yang baru, menjadikan undang-undang yang telah ada ketinggalan dari perubahan-perubahan gejala-gejala sosial.
l  Hakim tidak hanya mempunyai tugas menciptakan hukum yang baru, tetapi juga menjaga peraturan-peraturan yang ada supaya tetap dalam jalur tujuannya.

5.       Aliran Freirechtbewegung

l  Menurut Herman Kantorowicz, bahwa undang-undang banyak mengandung kekosongan-kekosongan dan tugas hakim untuk memenuhinya, dia merupakan penganut terkemuka dari aliran Freirechtbewegung yang timbul pada waktu itu di Jerman.
l  Aliran ini membela suatu perluasan dari kekuasaan memutuskan dari peradilan.
l  Kiranya penggunaan dogmatis yang kaku dari undang-undang hendaknya orang bekerja dengan alasan-alasan yang tidak menyimpang dari kejadian yang akan diputus itu.
l  Aliran ini juga disebut sebagai Aliran Hukum Bebas, dengan kuat mempropagandakan pemakaian pengertian dari “itikad baik”, “adat istiadat baik”, “pendapat masyarakat”, tidak hanya ditempat-tempat yang secara tegas ditunjuk oleh undang-undang, tetapi juga di luarnya, sehingga dengan demikian hakim memperoleh suatu senjata melalui keputusan yang tidak adil yang dilarikan dari pemakaian undang-undang yang cermat.
l  Freirechtshule menunjukan suatu penemuan hukum yang lebih bebas, sekalipun tidak demikian bebasnya sebagaimana sebenarnya dikehendaki oleh beberapa penganut ajaran ini, tetapi masih jauh lebih bebas terhadap undang-undang dan sistem dari undang-undang itu dari pada sebelumnya.

6.       Aliran Sosiologische Rechtsschule

l  Aliran ini lahir akibat aliran Freirechtbewegung, aliran ini juga disebut aliran sosiologi hukum. Penganutnya Hamaker dan Hymans dari Negeri Belanda dan dari Amerika misalnya : Roscoe Pound.
l  Pokok pikiran dari aliran ini ialah terutama hendak menahan dan menolak kemungkinan kesewenang-wenangan dari hakim, berhubungan dengan adanya “freies Ermessen” dari aliran hukum bebas di atas.
l  Mereka pada dasarnya tidak setuju dengan kebebasan bagi para pejabat hukum untuk menyampingkan undang-undang sesuai dengan perasaannya.
l  Undang-undang harus tetap dihormati, tetapi sebaliknya memang benar hakim mempunyai kebebasan dalam menyatakan hukum, akan tetapi kebebasan tersebut terbatas dalam rangka undang-undang.
l  Menurut penganut aliran ini, hakim hendaknya mendasarkan putusan-putusannya pada peraturan undang-undang, tapi tidak kurang pentingnya, supaya putusan-putusan tersebut dapat dipertanggung jawabkan terhadap asas-asas keadilan, kesadaran dan perasaan hukum yang sedang hidup dalam masyarakat.

7.       Aliran Open System van het Recht
(Sistem Hukum Terbuka)

l  Setelah melihat pandangan-pandangan aliran-aliran di atas adalah berat sebelah, yaitu kadang-kadang terlampau mengutamakan dogma, kepastian hukum, dan juga kadang-kadang mendudukkan hakim dalam posisi yang terlalu penting dalam peranannya atau juga terlalu mementingkan kenyataan sosial.
l  Aliran ini diwakili oleh Paul Scholten, yang menjelaskan “Hukum itu merupakan suatu sistem ialah bahwa semua peraturan-peraturan itu saling berhubungan, yang satu ditetapkan oleh yang lain, bahwa peraturan-peraturan tersebut dapat disusun secara mantik dan unik yang bersifat khusus dapat dicarikan aturan-aturan umumnya, sehingga sampai pada asas-asasnya”.
l  Betul bahwa hukum itu bersifat logis, akan tetapi karena sifatnya sendiri, dia tidak tertutup, tidak beku, sebab ia memerlukan putusan-putusan atau penetapan-penetapan yang selalu akan menambah luasnya sistem tersebut.
l  Oleh karena itu tepat untuk disebut Sistem Terbuka.
l  Selanjutnya dikatakan, bahwa sistem hukum itu adalah dinamis, bukan saja pembentuk baru secara sadar oleh badan perundang-undangan, tetapi juga karena pelaksanaannya di dalam masyarakat.
l  Pelaksanaan itu selalu disertai penilaian, baik sambil membuat konstruksi-konstruksi hukum ataupun penafsiran.
l  Badan perundang-undangan dalam membentuk hukum yang baru terikat untuk menemukan kontinuitas dengan yang lama, sedangkan hakim dalam mempertahankan hukum itu turut menambahkan sesuatu yang baru seraya mendapatkan hubungan yang telah ada.


Sistem Hukum



        Dalam kamus bahasa Inggris yang berjudul “The American Heritage Dictionary of The English Lenguage” disebutkan delapan arti sistem.
Salam satu dari pengertian sistem dapat disimpulkan, bahwa satu sistem terdiri dari :
Hubungan dan saling ketergantungan di antara bagian-bagian atau elemen-elemen dari sistem.
Merupakan satu kesatuan (entity)
Salah satu dari pengertian sistem adalah :
Adanya Hubungan dan saling ketergantungan di antara bagian-bagian atau elemen-elemen dari sistem; dan
merupakan satu kesatuan (entity).
Suatu sistem adalah “suatu kesatuan yang bersifat kompleks yang terdiri dari bagian yang berhubungan satu sama lain”.
Suatu sistem dapat dikatakan sebagai suatu kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain secara fungsional.
Tiap-tiap bagian dalam sistem mempunyai fungsi sendiri-sendiri yang satu sama lain saling berhubungan dan saling ketergantungan.
Tiap-tiap bagian yang saling ketergantungan yang kemudian membentuk suatu kesatuan yang bekerja untuk mencapai tujuan untuk menghasilkan sesuatu.

Suatu sistem dapat dikatakan sebagai suatu kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain secara fungsional.
Tiap-tiap bagian dalam sistem mempunyai fungsi sendiri-sendiri yang satu sama lain saling berhubungan dan saling ketergantungan.
Tiap-tiap bagian yang saling ketergantungan yang kemudian membentuk suatu kesatuan yang bekerja untuk mencapai tujuan untuk menghasilkan sesuatu.

                Muladi (mengutip pendapat Schrode dan Voich) mengatakan Sistem akan selalu mengandung karakteristik terpadu, dengan indikator-indikator :
  1. berorientasi pada tujuan (purposive behavior);
  2. menyeluruh daripada sekedar penjumlahan bagian-bagiannya (wholism);
  3. sistem selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih besar (openness);
  4. operasionalisasi bagian-bagiannya mencipatakan sistem nilai tertentu (transpormation);
  5. antar bagian sistem harus cocok satu sama lain (interrelatedness);
  6. adanya mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian secara terpadu (control mechanism).


Muladi (mengutip pendapat Schrode dan Voich) mengatakan Sistem akan selalu mengandung karakteristik terpadu, dengan indikator-indikator :
  1. berorientasi pada tujuan (purposive behavior);
  2. menyeluruh daripada sekedar penjumlahan bagian-bagiannya (wholism);
  3. sistem selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih besar (openness);
  4. operasionalisasi bagian-bagiannya mencipatakan sistem nilai tertentu (transpormation);
  5. antar bagian sistem harus cocok satu sama lain (interrelatedness);
  6. adanya mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian secara terpadu (control mechanism).


Kriteria Sistem


¡  Paling umum adalah pergeseran dari bagian kepada keseluruhan.
¡  Sistem-sistem yang hidup merupakan keseluruhan terintegrasikan, yang sifat-sifatnya tidak dapat direduksikan kepada sifat-sifat bagian-bagiannya yang lebih kecil.
¡  Sifat-sifat esensial atau 'sistemik'-nya adalah sifat-sifat dari keseluruhan, yang tidak dimiliki oleh bagiannya yang mana pun juga.
¡  Sifat-sifat itu muncul dari 'hubungan-hubungan pengorganisasian' di antara bagian-bagian itu, yaitu dari konfigurasi hubungan teratur yang khas untuk jenis organisme atau sistem yang bersangkutan.
¡  Sifat-sifat sistemik akan lenyap apabila suatu sistem diuraikan menjadi unsur-unsurnya yang berdiri sendiri.
Pemahaman yang umum mengenai sistem mengatakan, bahwa suatu sistem adalah “suatu kesatuan yang bersifat kompleks yang terdiri dari bagian yang berhubungan satu sama lain”.
                Pemahaman yang demikian itu hanya menekankan pada diri keterhubungan dari bagian-bagiannya, yaitu bahwa bagian-bagian tersebut bekerja sama secara aktif untuk mencapai tujuan pokok dari kesatuan tersebut.
Hukum bukanlah sekedar kumpulan atau penjumlahan peraturan-peraturan yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri. Arti pentingnya suatu peraturan hukum ialah karena hubungannya yang sistematis dengan peraturan-peraturan hukum lain.


                Menurut Lawrence M. Friedman, suatu sistem hukum dapat dibagi tiga bagian atau komponen, yaitu :
  1. komponen struktural
  2. komponen substansi
  3. komponen budaya hukum (sikap-sikap publik/warga masyarakat beserta nilai-nilai yang dipegangnya).

Komponen Sistem Hukum
  1. Komponen struktural, adalah bagian-bagian dari sistem hukum yang bergerak di dalam suatu mekanisme. Maksudnya adalah : lembaga-lembaga pembuat undang-undang, pengadilan dan berbagai badan yang diberi wewenang untuk menerapkan hukum dan penegak hukum.
  2. Komponen substansial, yaitu hasil nyata yang diterbitkan oleh sistem hukum. Hasil nyata itu dapat berwujud hukum in concreto (kaidah hukum individu) maupun hukum in abstracto (kaidah hukum umum).
  3. Komponen Kultural, yaitu budaya hukum masyarakat pada umumnya. Termasuk juga budaya hukum Pemerintah, DPR, para penegak hukum.



  • Hukum merupakan suatu sistem, berarti bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain.
  • Dengan perkataan lain sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut.
                Kesatuan tersebut di terapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum, asas hukum dan pengertian hukum.

Hukum merupakan suatu sistem

l  Bahwa hukum itu merupakan tatanan, merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain.
l  Dengan perkataan lain sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut.
l  Kesatuan tersebut diterapkan terhadap kompleks unsur-unsur yuridis seperti peraturan hukum, asas hukum dan pengertian hukum.

Komponen Sistem Hukum 
(Schuit & Mochtar Kusumaatmaja)


1.            Unsur Idiil: Sistem makna yuridik, mencakup keseluruhan asas-asas, kaidah-kaidah, aturan-aturan dan pranata-pranata hukum.
                Disebut: SISTEM HUKUM POSITIF atau Tata Hukum
2.            Unsur Operasional: mencakup keseluruhan berbagai organisasi, lembaga dan pejabatnya.
                Meliputi: Badan Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif.
3.            Unsur Aktual: mencakup keseluruhan putusan dan perilaku para pejabat dan para warga masyarakat sejauh berkaitan dengan sistem makna yuridik.
                Disebut: Budaya Hukum.


Tata Hukum (Sistem Hukum Positif):

  1. Produksi interaksi dialektik antara di satu pihak “das Sein” (kenayataan kemasyarakatan) dan di lain pihak “das Sollen”;
  2. Hukum dalam dunia “das Sollen-Sein”;
  3. “das Sollen” yang bertumpu pada dan ditimbulkan oleh “das Sein” serta terarah balik pada “das Sollen” untuk mengatur “das Sein” tersebut;
  4. Obyek studi Ilmu Hukum (Rechtswetenschap, Legal Science);
  5. Tertata secara hirarkhikal dalam sebuah sistem aturan hukum.






Teori Tujuan Hukum


1.            Teori Etis
          Menurut teori etis, hukum semata-mata bertujuan keadilan.
          Isi hukum ditentukan oleh keyakinan kita yang etis tentang yang adil dan tidak.
          Dengan perkataan lain hukum menurut teori ini bertujuan meraliser atau mewujudkan keadilan. Geny termasuk salah seorang pendukung teori ini.
          Sekarang timbul pertanyaan : “Apakah keadilan itu” ?
          Pertanyaan mengenai keadilan itu meliputi dua hal, yaitu yang menyangkut hakekat keadilan dan yang menyangkut isi atau norma untuk berbuat secara konkrit dalam keadaan tertentu.
          Hukum mempertahankan perdamaian dengan menimbang kepentingan yang bertentangan secara teliti dan mengadakan keseimbangan di antaranya, karena hukum hanya dapat mencapai tujuan jika ia menuju peraturan yang adil, artinya peraturan yang mana terdapat keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi, yang mana setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya.  Demikian keadilan yang diuraikan oleh Aristoteles dalam “Rhetorica”.
          Teori Etis, bahwa hukum semata-mata menghendaki keadilan.
          Isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil. Teori ini berat sebelah, ia melebih-lebihkan kadar keadilan hukum, tanpa memperhatikan keadaan sebenarnya.
          Hukum harus menentukan peraturan umum, harus menyamaratakan, keadilan melarang menyamaratakan, keadilan menuntut supaya tiap-tiap perkara harus ditimbang tersendiri (“Suum Cuique Tribuere”).
          Jika pembentuk undang-undang memerintahkan hakim supaya ia dalam keputusannya memperhatikan keadilan dalam arti dalam penerapan peraturan-peraturan umum dalam hal-hal yang khusus, jangan mengakibatkan ketidak adilan atau adanya kepantasan (redelijkheid) atau itikad baik.
          Akan tetapi kepastian hukum tidak akan dipenuhi seluruhnya, lebih-lebih berhubungan dengan kenyataan, bahwa dalam peradilan kita terlihat cita-cita untuk selalu memperluas “asas itikad baik”, jangan melakukannya dalam hal undang-undang tidak menunjuk kepadanya.
          Jadi dalam hukum terdapat bentrokan yang tidak dapat dihirdarkan, pertikaian yang selalu berulang antara tuntutan-tuntutan keadilan dan tuntutan-tuntutan kepastian hokum.

         Keadilan distributif (justitia distributiva) , adalah keadilan yang memberikan kepada tiap orang menurut jatahnya (haknya).  Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan, melainkan kesebandingan.
n  Jatah ini tidak sama untuk setiap orangnya, tergantung pada kekayaan, kelahiran, pendidikan, kemampuan dan sebagainya, sifatnya adalah proporsional.  Yang dinilai adil disini ialah apanila setiap orang mendapatkan hak atau jatahnya secara proposional mengingat akan pendidikan, kedudukan, kemampuan dan sebagainya.
n  Keadilan Komulatif (justitia commutativa) , adalah keadilan yang memberi kepada setiap orang sama banyaknya. Dalam pergaulan di dalam masyarakat keadilan komulatif merupakan kewajiban setiap orang terhadap sesamanya. Jadi yang dituntut adalah kesamaan.
n  Yang adil menurut keadilan komulatif ialah apabila setiap orang diperlakukan sama tanpa memandang kedudukan dan sebagainya. Misalnya dalam pengungsian pembagian beras yang sama banyaknya akan dirasakan adil.

2.            Teori Utiliti
          Menurut teori utiliti, bahwa hukum ingin menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya (the greatest good of the greatest number).
          Pada hakekatnya menurut teori ini tujuan hukum adalah manfaat dalam menghasilkan kesenangan atau kebahagiaan yang terbesar bagi jumlah orang yang terbanyak.
          Penganut teori ini antara lain adalah Jeremy Bentham.
          Pendapat lain tentang tujuan hukum, yaitu :
          Paul Scholten, yang berpendapat bahwa hukum perlu mencari keseimbangan antara :
a.       Persoonlijkheid (kepribadian) dan gemeenschap      (masyarakat).    Secara sepihak mencari kepentingan  masyarakat akan  mengakibatkan individualisme.S
sebaiknya secara sepihak mencari kepentingan masyarakat, tanpa memperhatikan individu akan mengakibatkan universalisme, seperti dalam Facisme, Kommunisme.Dalam memelihara hukum kita harus mencari keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat.

b.      Yang kedua kita perlu mencari keseimbangan antara :
Gelijkheid en gezag, kesamaan manusia dan kewibawaan. Pada asasnya manusia adalah sama, apapun pangkatnya dalam masyarakat.

c.       Akhirnya dalam hukum perlu memisahkan : goed en kwaad, baik dan jahat. Hukum dan pemeliharaan hukum perlu memihak kebaikan, dan menolak kejahatan dalam bentuk apapun.


Radbruch,   mengatakan   bahwa  tujuan  dari  hukum perlu berorientasi pada tiga hal :
a. Kepastian hukum, tuntutan pertama kepada hukum          ialah,     supaya ia positif, yaitu berlaku dengan pasti.  Hukum harus  ditaati agar hukum itu sungguh sungguh positif.

b. Keadilan, menurut Radbruch sudah cukup apabila  kasus-kasus yang  sama  diperlukan secara sama.

c. Daya-guna, hukum perlu menuju kepada tujuan  yang penuh  harga (waardevol).






Ada tiga nilai yang   penting bagi hukum,      yaitu :

n  Individualwerte, nilai-nilai pribadi yang penting untuk mewujudkan kepribadian manusia.
n   
n  Gemeinschaftswerte, nilai-nilai masyarakat, yang hanya dapat diwujudkan dalam masyarakat manusia.
n   
n  Werkwerte, nilai-nilai dalam karya manusia (ilmu, kesenian)       dan pada umumnya dalam kebudayaan.

Mochtar Kusumaatmadja, dalam analisa terakhir, tujuan pokok dari pada hukum apabila hendak    direduksi pada suatu hal saja, adalah ketertiban (order).
Kebutuhan akan ketertiban syarat pokok (fundamental) bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur.
Lepas dari segala kerinduan akan hal-hal lain yang juga yang menjadi tujuan daripada hukum, ketertiban sebagai tujuan utama hukum, merupakan suatu fakta obyektif yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala bentuknya
Mengingat bahwa kita tak mungkin menggambarkan hidupnya manusia tanpa atau di luar masyarakat, maka : manusia masyarakat dan hukum merupakan pengertian yang tak dapat dipisahkan.
Pameo Romawi “ubi secietas ibi ius” yang artinya dimana ada masyarakat disitu ada hukum.

Fungsi hukum
u Mochtar Kusumaatmadja, mengatakan berbicara tentang arti hukum dan fungsi hukum, dapat dikembalikan kepada pertanyaan dasar : apakah tujuan hukum itu.
u Di depan sudah dibahas, dari kesimpulannya dapat kita katakan bahwa hukum merupakan suatu “alat untuk memelihara ketertiban” dalam masyarakat.
u Bahwa hukum menjamin keteraturan (kepastian) dan ketertiban, bukan tujuan akhir dari hukum melainkan lebih baik disebut fungsi hukum.
u Mengingat fungsinya di atas sifat hukum pada dasarnya adalah konservatif, artinya hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah dicapai.
u Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun. Karena disinipun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan.
u Telah banyak para ahli yang menguraikan berkenaan dengan fungsi hukum dalam hubungan antar anggota masyarakat dan yang pada dasarnya mengatakan sebagai berikut :
  1. Pemeliharaan ketertiban dan kepastian hukum.
  2. Pembagian hak dan kewajiban di antara anggota masyarakat.
  3. Distributor wewenang untuk mengambil keputusan dalam masalah. publik atau secondary rules menurut paham Hart.
  4. Perelai perselisihan-perselisihan.
Menurut E.A. Goebel seorang antropolog, terdapat empat fungsi dasar dari hukum di dalam masyarakat, yaitu :
a. Menetapkan pola hubungan antara anggota-anggota  masyarakat dengan cara menunjukan jenis-jenis  tingkah laku yang mana yang diperbolehkan dan  yang mana yang dilarang.
b. Menentukan alokasi wewenang merinci siapa yang  boleh melakukan paksaan, siapa yang harus  mentaatinya, siapa yang memilih sanksinya yang  tepat dan efektif.
c. Menyelesaikan sengketa.
d. Memelihara kemampuan masyarakat untuk  menyesuaikan  diri  dengan kondisi-kondisi kehidupan  yang berubah, yaitu dengan  cara  merumuskan kembali hubungan-hubungan esensial  antara anggota-anggota masyarakat
n  Talcott Parson seorang sosiologi menganggap hukum sebagai suatu sarana pengendalian sosial, yaitu melakukan integratif, mengurangi konflik-konflik dan melancarkan proses interaksi pergaulan masyarakat.
n  Mochtar Kusumaatmadja, mengatakan hukum dimasa kemajuan dan morernisasi ini, makin lama makin (tambah) lepas dari kehidupan manusia sebagai mahluk sosial yang berbudaya (de-personalized) sehingga aspek fungsi hukum lebih menonjol atau lebih penting daripada aspek tujuan hukum.