l Pada
zaman dahulu, sebelum tahun 1800 dimana pada umumnya masyarakat hidup dengan
bermacam-macam hukum kebiasaan yang berbeda menurut tempat dan waktu.
l Akan
tetapi dengan banyaknya hukum kebiasaan itu sehingga semakin kabur dan
samar-samar, karena memperlihatkan perbedaan yang terlampau besar.
l Sehingga
orang mulai tidak merasa puas dengan hukum-hukum kebiasaan (hukum tidak
tertulis), maka mulailah ahli-ahli hukum Romawi menghendaki bahwa
peraturan-peraturan (hukum) kebiasaan itu dituliskan.
l Memang
sumber hukum tertua adalah kebiasaan atau tradisi hal ini tidak berpedoman pada
aturan-aturan yang diundangkan atau yang dicatat melainkan pada aturan-aturan
yang diwariskan secara diam-diam.
l Akibat
dari tidak ada suatu pedoman yang berlaku secara umum, sering menimbulkan
kesewenang-wenangan penguasa/hakim dalam melaksanakan kekuasaannya.
l Setelah
melihat kenyataan tersebut di atas, maka timbullah usaha ke arah kodifikasi
yaitu pada zaman Romawi terlihat pada masa Kaisar Justinianus, yang
menghasilkan “Corpus Iuris Civilis”.
l Akibat
munculnya hal tersebut mengakibatkan timbulnya beberapa pandangan tentang
hubungan undang-undang, hukum, dan hakim.
l Ini
timbul karena ada yang beranggapan bahwa apabila hakim/penguasa menyelesaikan
suatu perkara harus bersumber pada undang-undang,
sebaliknya harus bersumber pada hukum
yang hidup dalam masyarakat.
l Lebih
jelasnya akan ditelaah menurut beberapa pandangan atau aliran dalam ilmu hukum.
PENEMUAN
HUKUM DILIHAT DARI
ALIRAN-ALIRAN DALAM ILMU HUKUM
ALIRAN-ALIRAN DALAM ILMU HUKUM
- Aliran Legisme
- Aliran Historis (sejarah)
- Aliran Begriffsjurisprudenz
- Aliran Interessenjurisprudenz
- Aliran Freirechtbewegung
- Aliran Sosiologische Rechtsschule
- Aliran Open System van het Recht
(Sistem Hukum Terbuka)
1.
Aliran Legisme
l Paham
ini beranggapan bahwa undang-undang itu merupakan yang supreme dinamakan “Legisten dan Canonisten”, dan
alirannya disebut aliran Legisme.
l Pandangan
ini cocok dengan ajaran hukum kodrat yang rasionalistis dari abad ke-17 dan
abad ke-18. Dan mendapat dukungan lebih kuat dari teori-teori : Montesquieu dan
J.J. Rousseau.
l Kodifikasi sebagai landasan dari aliran legisme, bertujuan untuk
kesederhanaan hukum dimana hukum mudah di dapat, kesatuan hukum (unifikasi
hukum), dan kepastian hukum.
l Setelah
adanya kodifikasi yang mengakibatkan lahirnya aliran logisme yang beranggapan
bahwa tidak ada sumber hukum lain kecuali undang-undang.
l Hakim
hanya merupakan terompet undang-undang yang tidak berjiwa dan tidak dapat
mengubah atau menambah undang-undang.
l Sesuai
dengan teori-teori Montesquieu atau J.J.
Rousseau, aliran legisme berpendapat, bahwa kedudukan Pengadilan adalah
pasif saja, ia hanya terompet undang-undang, ia hanya bertugas memasukkan
sesuatu hal yang konkrit dalam undang-undang dengan jalur tutur simpul
(silogisme) hukum, secara dedukasi yang logis.
l Bahwa
hakim mengambil sikap menahan diri. Ia tidak boleh melanggar kebebasan para
warga negara, untuk mengatur hubungan hukum mereka.
l Hakim
hanya bertindak apabila para warga negara sudah melampaui batas menurut
undang-undang.
l Hakim
harus memberi keputusan menurut undang-undang, ia sama sekali tidak boleh
menilai-nilai batiniah atau kepatutan dari undang-undang.
l Penafsiran
undang-undang tidak akan diperlukan, orang hanya perlu mengikuti saja teks
harfiah.
2.
Aliran Historis (sejarah)
l Pelopor
dari aliran ini yang terkenal adalah F.C.
Von Savigni (1779-1861), yang mencari sumber asal dari hukum positif di
dalam kesadaran hukum bersama dari
masyarakat.
l Aliran
sejarah lahir sebagai reaksi terhadap ajaran hukum alam atau kodrat dari abad
ke-17 dan abad ke-18, yang mencoba membangun hukum yang berlaku menyeluruh dan
abadi (universal dan abadi) hanya dengan mempergunakan akal pikiran (ratsio)
manusia tanpa mau melihat kenyataan hidup yang berubah-ubah.
l Aliran
ini juga menentang aliran legisme.
l Pada
tahun 1814 F.C. Von Savigny menimbulkan goncangan dengan menulis suatu brosur
terhadap usaha kodifikasi yang timbul pada waktu itu di Jerman. Untuk suatu
kodifikasi dia menganggap Jerman masih belum matang.
l Hukum
itu tidak dibuat, tetapi berada dan tumbuh dengan bangsa itu.
l Hukum
itu adalah “kehidupan suatu bangsa dilihat dari suatu sudat khusus”, suatu
aspek dari “Kehidupan bangsa yang sehat”.
l Kemudian
dijelaskan oleh Von Savigny, bahwa kesadaran hukum tidak dapat disamakan dengan
keyakinan mayoritas dari para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Parlemen).
l Hukum
yang tumbuh dari semangat atau keyakinan rakyat berkembang secara pasti dan
tetap seperti kehidupan rakyat sendiri.
l Jadi
singkatnya, bahwa hukum tidak dibuat tetapi tumbuh dan berkembang bersama-sama
dengan rakyat.
l Pandangan
bersumber pada jiwa bangsa (Volkegeyst),
kesadaran hukum masyarakat hukumnya bersumber hanya menekankan kepada
kebiasaan, dan bentuk hukumnya berupa hukum kebiasaan.
l Jadi
hukum itu berkembang dari hubungan hukum yang sederhana kedalam masyarakat
modern.
3.
Aliran Begriffsjurisprudenz
l
Dengan
tidak meninggalkan prinsip-prinsip pandangan aliran Legisme, maka aliran
Begriffsjurisprudenz telah memperbaiki kelemahan yang ada.
l
Menurut
pendapat aliran ini, bertitik tolak dari beberapa aksioma (rechtgrundsatse,
asas dasar hukum yang telah diakui secara umum) melalui dedukasi logis, orang
dapat turun ke soal pertentangan, yang memisahkan para pihak.
l
Dengan
demikian terjadilah suatu sistem hukum yang cocok, digantungkan pada pengertian
dasar.
l
Yang
paling idial adalah, apabila sistem yang ada itu akan dapat dibangun dalam
semacam piramida, dengan suatu asas pokok di puncaknya.
l
Dari
situ akan dapat dibuat lagi pengertian yang baru sebab pengertian itu banyak
menghasilan “mereka berpasang-pasangan dan melahirkan yang baru” Itu sebabnya teori ini (dengan satu nama
ejekan) disebut Begriffjurisprudenz.
l
Ciri
khas dari aliran ini adalah terutama, bahwa di dalam hukum itu dilihat sebagai
suatu sistem yang terpadu, mencakup segala-galanya yang menguasai segala
tindakan sosial.
l
Pendekatan
ilmiah mengenai hukum itu, dengan aparat-aparatnya yang diperhalusnya itu,
bukan hanya merupakan stimulasi yang kuat bagi timbulnya positivisme hukum,
tetapi memberikan juga kepada hakim suatu kumpulan argumen yang ditarik dari
ilmu pengetahuan, jadi yang dianggap obyektif bagi keputusannya.
l
Begriffsjurisprudenz
memberi kepada hakim lebih banyak ruang lingkupnya dari legisme.
l
Ia tidak
usah mengingatkan diri pada teks undang-undang, tetapi boleh juga mengemukakan
argumennya dari peraturan hukum yang “tidak kelihatan”, yang tersembunyi dalam
kitab undang-undang.
l
Aliran
ini juga mengajarkan bahwa sekalipun undang-undang itu tidak lengkap, akan
tetapi dia dapat memenuhi kekurangan-kekurangannya sendiri, oleh karena dia
mempunyai daya meluas.
l
Cara
memperluas hukum itu hendaknya dipandang dari dogmatik sebab hukum itu adalah
suatu kesatuan yang tertutup, sebagaimana dikatakan oleh Brinz.
l
Brinz
mengatakan untuk mengisi kekosongan hukum tersebut dengan jalan membuat
konstruksi-konstuksi hukum, yaitu dengan cara (metode) :
1. abstractie (analogi);
2. determinatie (penghalusan hukum);
3. argumentum a contrario.
4.
Aliran Interessenjurisprudenz
l
Penganut
aliran ini tidak sependapat dengan aliran Legisme dan aliran
Begriffsjurisprudenz, mereka menyatakan bahwa undang-undang tidak lengkap, ia
bukan satu-satunya sumber hukum, sedang hakim dan pejabat lainnya mempunyai
kebebasan yang seluas-luasnya dalam menentukan hukum.
l
Demi
untuk mencapai hukum yang seadil-adilnya, menurut aliran ini hakim malahan
boleh menyimpang dari peraturan-peraturan undang-undang.
l
Kemudian
terhadap abstraksi yang kosong dari aliran Historis dan Begriffsjurisprudenz, Rudolf
Von Jhering menyatakan, bahwa hukum itu mempunyai arti masyarakat tertentu.
l
Penganut
aliran ini tidak sependapat dengan aliran Legisme dan aliran
Begriffsjurisprudenz, mereka menyatakan bahwa undang-undang tidak lengkap, ia
bukan satu-satunya sumber hukum, sedang hakim dan pejabat lainnya mempunyai
kebebasan yang seluas-luasnya dalam menentukan hukum.
l
Demi
untuk mencapai hukum yang seadil-adilnya, menurut aliran ini hakim malahan
boleh menyimpang dari peraturan-peraturan undang-undang.
l
Kemudian
terhadap abstraksi yang kosong dari aliran Historis dan Begriffsjurisprudenz, Rudolf
Von Jhering menyatakan, bahwa hukum itu mempunyai arti masyarakat tertentu.
l
Jadi
peraturan hukum itu oleh hakim haruslah dilihat tidak secara logis formal,
melainkan seyogyanya dinilai menurut tujuannya.
l
Pada
dasarnya tujuan itu adalah, bahwa peraturan itu bermaksud melindungi
kepentingan tertentu.
l
Pembuat
undang-undang ketika ia mengeluarkan suatu peraturan, telah mempertimbangkan
berbagai kepentingan dan membandingkannya satu sama lain dan kemudian
mengadakan pilihan.
l
Dalam
ketentuan undang-undang itu telah ditetapkan manakah yang bernilai penuh dalam
mata pembuat undang-undang.
l
Bila
hakim diminta akan memberikan putusan (suatu keputusan nilai dalam suatu
pertentangan kepentingan), maka hakim tersebut harus mencari hubungan dengan
kepentingan yang tercantum dalam undang-undang.
l
Ia tidak
boleh atas wewenang sendiri menilai kepentingan konkrit dari pihak-pihak yang
bersangkutan, tetapi ia harus mengambil dari dalamnya unsur, yang telah dinilai
oleh pembuat undang-undang dan berdasarkan itu memberikan suatu keputusan.
l
Namun
hakim adalah juga pencipta hukum yang baru.
l
Sebab
apabila pembuat undang-undang pada pertimbangannya belum dapat memperhatikan
kepentingan tertentu, maka hakim masih dapat menimbang kepentingan itu.
l
Ia harus
bertanya kepada diri sendiri, apa yang dibuat oleh pembuat undang-undang,
apabila kepentingan itu pada waktu itu dapat menambah berat dalam
pertimbangannya, akan diubahnya pada suatu peraturan atau ditambahkannya.
l
Disini
hakim menciptakan hukum yang baru, menjadikan undang-undang yang telah ada
ketinggalan dari perubahan-perubahan gejala-gejala sosial.
l
Hakim
tidak hanya mempunyai tugas menciptakan hukum yang baru, tetapi juga menjaga
peraturan-peraturan yang ada supaya tetap dalam jalur tujuannya.
5.
Aliran Freirechtbewegung
l
Menurut Herman
Kantorowicz, bahwa undang-undang banyak mengandung kekosongan-kekosongan dan
tugas hakim untuk memenuhinya, dia merupakan penganut terkemuka dari aliran Freirechtbewegung
yang timbul pada waktu itu di Jerman.
l
Aliran
ini membela suatu perluasan dari kekuasaan memutuskan dari peradilan.
l
Kiranya
penggunaan dogmatis yang kaku dari undang-undang hendaknya orang bekerja dengan
alasan-alasan yang tidak menyimpang dari kejadian yang akan diputus itu.
l
Aliran
ini juga disebut sebagai Aliran Hukum Bebas, dengan kuat mempropagandakan
pemakaian pengertian dari “itikad baik”, “adat istiadat baik”, “pendapat
masyarakat”, tidak hanya ditempat-tempat yang secara tegas ditunjuk oleh
undang-undang, tetapi juga di luarnya, sehingga dengan demikian hakim
memperoleh suatu senjata melalui keputusan yang tidak adil yang dilarikan dari
pemakaian undang-undang yang cermat.
l
Freirechtshule
menunjukan suatu penemuan hukum yang lebih bebas, sekalipun tidak demikian
bebasnya sebagaimana sebenarnya dikehendaki oleh beberapa penganut ajaran ini,
tetapi masih jauh lebih bebas terhadap undang-undang dan sistem dari
undang-undang itu dari pada sebelumnya.
6.
Aliran Sosiologische Rechtsschule
l
Aliran
ini lahir akibat aliran Freirechtbewegung, aliran ini juga disebut aliran sosiologi
hukum. Penganutnya Hamaker dan Hymans dari Negeri Belanda dan dari Amerika
misalnya : Roscoe Pound.
l
Pokok
pikiran dari aliran ini ialah terutama hendak menahan dan menolak kemungkinan
kesewenang-wenangan dari hakim, berhubungan dengan adanya “freies Ermessen”
dari aliran hukum bebas di atas.
l
Mereka
pada dasarnya tidak setuju dengan kebebasan bagi para pejabat hukum untuk
menyampingkan undang-undang sesuai dengan perasaannya.
l
Undang-undang
harus tetap dihormati, tetapi sebaliknya memang benar hakim mempunyai kebebasan
dalam menyatakan hukum, akan tetapi kebebasan tersebut terbatas dalam rangka
undang-undang.
l
Menurut
penganut aliran ini, hakim hendaknya mendasarkan putusan-putusannya pada
peraturan undang-undang, tapi tidak kurang pentingnya, supaya putusan-putusan
tersebut dapat dipertanggung jawabkan terhadap asas-asas keadilan, kesadaran
dan perasaan hukum yang sedang hidup dalam masyarakat.
7.
Aliran Open System van het Recht
(Sistem Hukum Terbuka)
(Sistem Hukum Terbuka)
l
Setelah
melihat pandangan-pandangan aliran-aliran di atas adalah berat sebelah, yaitu
kadang-kadang terlampau mengutamakan dogma, kepastian hukum, dan juga
kadang-kadang mendudukkan hakim dalam posisi yang terlalu penting dalam
peranannya atau juga terlalu mementingkan kenyataan sosial.
l
Aliran
ini diwakili oleh Paul Scholten, yang menjelaskan “Hukum itu merupakan suatu
sistem ialah bahwa semua peraturan-peraturan itu saling berhubungan, yang satu
ditetapkan oleh yang lain, bahwa peraturan-peraturan tersebut dapat disusun
secara mantik dan unik yang bersifat khusus dapat dicarikan aturan-aturan
umumnya, sehingga sampai pada asas-asasnya”.
l
Betul
bahwa hukum itu bersifat logis, akan tetapi karena sifatnya sendiri, dia tidak
tertutup, tidak beku, sebab ia memerlukan putusan-putusan atau
penetapan-penetapan yang selalu akan menambah luasnya sistem tersebut.
l
Oleh
karena itu tepat untuk disebut Sistem Terbuka.
l
Selanjutnya
dikatakan, bahwa sistem hukum itu adalah dinamis, bukan saja pembentuk baru
secara sadar oleh badan perundang-undangan, tetapi juga karena pelaksanaannya
di dalam masyarakat.
l
Pelaksanaan
itu selalu disertai penilaian, baik sambil membuat konstruksi-konstruksi hukum
ataupun penafsiran.
l
Badan
perundang-undangan dalam membentuk hukum yang baru terikat untuk menemukan
kontinuitas dengan yang lama, sedangkan hakim dalam mempertahankan hukum itu
turut menambahkan sesuatu yang baru seraya mendapatkan hubungan yang telah ada.