1. Teori Etis
•
Menurut
teori etis, hukum semata-mata bertujuan keadilan.
•
Isi hukum ditentukan oleh keyakinan kita yang
etis tentang yang adil dan tidak.
•
Dengan perkataan lain hukum menurut teori ini
bertujuan meraliser atau mewujudkan keadilan. Geny termasuk salah seorang
pendukung teori ini.
•
Sekarang timbul pertanyaan : “Apakah
keadilan itu” ?
•
Pertanyaan mengenai keadilan itu meliputi dua
hal, yaitu yang menyangkut hakekat keadilan dan yang menyangkut isi atau norma
untuk berbuat secara konkrit dalam keadaan tertentu.
•
Hukum mempertahankan perdamaian dengan menimbang
kepentingan yang bertentangan secara teliti dan mengadakan keseimbangan di
antaranya, karena hukum hanya dapat mencapai tujuan jika ia menuju peraturan
yang adil, artinya peraturan yang mana terdapat keseimbangan antara
kepentingan-kepentingan yang dilindungi, yang mana setiap orang memperoleh
sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya.
Demikian keadilan yang diuraikan oleh Aristoteles dalam “Rhetorica”.
•
Teori
Etis, bahwa hukum
semata-mata menghendaki keadilan.
•
Isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh
kesadaran etis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil. Teori ini
berat sebelah, ia melebih-lebihkan kadar keadilan hukum, tanpa memperhatikan
keadaan sebenarnya.
•
Hukum harus menentukan peraturan umum, harus
menyamaratakan, keadilan melarang menyamaratakan, keadilan menuntut supaya
tiap-tiap perkara harus ditimbang tersendiri (“Suum Cuique Tribuere”).
•
Jika pembentuk undang-undang memerintahkan hakim
supaya ia dalam keputusannya memperhatikan keadilan dalam arti dalam penerapan
peraturan-peraturan umum dalam hal-hal yang khusus, jangan mengakibatkan
ketidak adilan atau adanya kepantasan (redelijkheid) atau itikad baik.
•
Akan tetapi kepastian hukum tidak akan dipenuhi
seluruhnya, lebih-lebih berhubungan dengan kenyataan, bahwa dalam peradilan
kita terlihat cita-cita untuk selalu memperluas “asas itikad baik”, jangan
melakukannya dalam hal undang-undang tidak menunjuk kepadanya.
•
Jadi dalam hukum terdapat bentrokan yang tidak
dapat dihirdarkan, pertikaian yang selalu berulang antara tuntutan-tuntutan
keadilan dan tuntutan-tuntutan kepastian hokum.
Keadilan distributif (justitia
distributiva) , adalah keadilan yang memberikan kepada tiap orang menurut
jatahnya (haknya). Ia tidak menuntut
supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan,
melainkan kesebandingan.
n Jatah
ini tidak sama untuk setiap orangnya, tergantung pada kekayaan, kelahiran,
pendidikan, kemampuan dan sebagainya, sifatnya adalah proporsional. Yang dinilai adil disini ialah apanila setiap
orang mendapatkan hak atau jatahnya secara proposional mengingat akan
pendidikan, kedudukan, kemampuan dan sebagainya.
n Keadilan
Komulatif (justitia commutativa) , adalah keadilan yang memberi
kepada setiap orang sama banyaknya. Dalam pergaulan di dalam masyarakat
keadilan komulatif merupakan kewajiban setiap orang terhadap sesamanya. Jadi
yang dituntut adalah kesamaan.
n Yang
adil menurut keadilan komulatif ialah apabila setiap orang diperlakukan sama
tanpa memandang kedudukan dan sebagainya. Misalnya dalam pengungsian pembagian
beras yang sama banyaknya akan dirasakan adil.
2. Teori
Utiliti
•
Menurut teori utiliti, bahwa hukum ingin
menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang
sebanyak-banyaknya (the greatest good of the greatest number).
•
Pada hakekatnya menurut teori ini tujuan hukum
adalah manfaat dalam menghasilkan kesenangan atau kebahagiaan yang terbesar
bagi jumlah orang yang terbanyak.
•
Penganut teori ini antara lain adalah Jeremy
Bentham.
•
Pendapat lain tentang tujuan hukum, yaitu :
•
Paul Scholten, yang berpendapat bahwa
hukum perlu mencari keseimbangan antara :
a.
Persoonlijkheid (kepribadian) dan gemeenschap (masyarakat). Secara sepihak mencari kepentingan
masyarakat akan mengakibatkan individualisme.S
sebaiknya secara sepihak mencari kepentingan masyarakat, tanpa
memperhatikan individu akan mengakibatkan universalisme, seperti dalam Facisme,
Kommunisme.Dalam memelihara hukum kita harus mencari keseimbangan antara
kepentingan individu dan masyarakat.
b.
Yang kedua kita perlu mencari keseimbangan
antara :
Gelijkheid en gezag, kesamaan manusia dan kewibawaan. Pada asasnya
manusia adalah sama, apapun pangkatnya dalam masyarakat.
c.
Akhirnya dalam hukum perlu memisahkan : goed en
kwaad, baik dan jahat. Hukum dan pemeliharaan hukum perlu memihak kebaikan, dan
menolak kejahatan dalam bentuk apapun.
Radbruch, mengatakan
bahwa tujuan dari
hukum perlu berorientasi pada tiga hal :
a. Kepastian hukum, tuntutan pertama kepada hukum ialah, supaya
ia positif, yaitu berlaku dengan pasti.
Hukum harus ditaati agar hukum
itu sungguh sungguh positif.
b. Keadilan, menurut Radbruch sudah cukup apabila kasus-kasus yang sama diperlukan
secara sama.
c. Daya-guna, hukum perlu menuju kepada tujuan yang penuh
harga (waardevol).
Ada tiga nilai yang penting bagi hukum, yaitu :
n Individualwerte,
nilai-nilai pribadi yang penting untuk mewujudkan kepribadian manusia.
n
n Gemeinschaftswerte,
nilai-nilai masyarakat, yang hanya dapat diwujudkan
dalam masyarakat manusia.
n
n Werkwerte,
nilai-nilai dalam karya manusia (ilmu, kesenian) dan pada umumnya dalam kebudayaan.
Mochtar Kusumaatmadja, dalam analisa terakhir, tujuan
pokok dari pada hukum apabila hendak direduksi
pada suatu hal saja, adalah ketertiban (order).
Kebutuhan akan ketertiban syarat pokok (fundamental) bagi
adanya suatu masyarakat manusia yang teratur.
Lepas dari segala kerinduan akan hal-hal lain yang juga yang
menjadi tujuan daripada hukum, ketertiban sebagai tujuan utama hukum, merupakan
suatu fakta obyektif yang berlaku bagi segala masyarakat manusia dalam segala
bentuknya
Mengingat bahwa kita tak mungkin menggambarkan hidupnya
manusia tanpa atau di luar masyarakat, maka : manusia masyarakat dan hukum
merupakan pengertian yang tak dapat dipisahkan.
Pameo Romawi “ubi secietas ibi ius” yang
artinya dimana ada masyarakat disitu ada hukum.
Fungsi hukum
u Mochtar
Kusumaatmadja, mengatakan berbicara tentang arti hukum dan fungsi hukum,
dapat dikembalikan kepada pertanyaan dasar : apakah tujuan hukum itu.
u Di
depan sudah dibahas, dari kesimpulannya dapat kita katakan bahwa hukum
merupakan suatu “alat untuk memelihara ketertiban” dalam masyarakat.
u Bahwa
hukum menjamin keteraturan (kepastian) dan ketertiban, bukan
tujuan akhir dari hukum melainkan lebih baik disebut fungsi hukum.
u Mengingat
fungsinya di atas sifat hukum pada dasarnya adalah konservatif, artinya hukum
bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah dicapai.
u Fungsi demikian diperlukan dalam setiap
masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun. Karena disinipun
ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan.
u Telah
banyak para ahli yang menguraikan berkenaan dengan fungsi hukum dalam hubungan
antar anggota masyarakat dan yang pada dasarnya mengatakan sebagai berikut :
- Pemeliharaan ketertiban dan kepastian
hukum.
- Pembagian
hak dan kewajiban di antara anggota masyarakat.
- Distributor
wewenang untuk mengambil keputusan dalam masalah. publik atau secondary
rules menurut paham Hart.
- Perelai
perselisihan-perselisihan.
Menurut E.A. Goebel seorang
antropolog, terdapat empat fungsi dasar dari hukum di dalam masyarakat, yaitu :
a. Menetapkan pola hubungan antara anggota-anggota masyarakat dengan cara menunjukan
jenis-jenis tingkah laku yang mana yang
diperbolehkan dan yang mana yang
dilarang.
b. Menentukan alokasi wewenang merinci siapa yang boleh melakukan paksaan, siapa yang
harus mentaatinya, siapa yang memilih
sanksinya yang tepat dan efektif.
c. Menyelesaikan sengketa.
d. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan
diri dengan kondisi-kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan
kembali hubungan-hubungan esensial antara
anggota-anggota masyarakat
n Talcott
Parson seorang sosiologi menganggap hukum sebagai suatu sarana pengendalian
sosial, yaitu melakukan integratif, mengurangi konflik-konflik dan melancarkan
proses interaksi pergaulan masyarakat.
n Mochtar
Kusumaatmadja, mengatakan hukum dimasa kemajuan dan morernisasi ini, makin
lama makin (tambah) lepas dari kehidupan manusia sebagai mahluk sosial yang
berbudaya (de-personalized) sehingga aspek fungsi hukum lebih menonjol
atau lebih penting daripada aspek tujuan hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar